twitter
rss

BELAJAR KEJUJURAN DI SEKOLAH

Oleh : Tabrani Yunis *)
 
Suatu ketika di bulan Juli 2006, seorang penulis, D. Keumalawati yang saya kenal cukup kreatif melhairkan karya-karya sastra dan juga aktif menulis di media massa itu pada tanggal 19 Juli 2006 ia menulis sebuah tulisan yang bernada bertanya. Saat itu ia menulis dengan judul, "Jujurkah Dunia Pendidikan Kita ?" D. Kemalawati yang seharian bekerja sebagai guru di sebuah SMK di kota Banda Aceh ini, dalam tulisannya itu memberikan gambaran kegusaran yang mendalam terhadap dunia pendidikan kita. Betapa D. Kemalawati gelisah dan galau melihat fenomena dan realitas pendidikan kita yang sedang berlangsung saat ini. Kegalauan D. Kemalawati sebagaimana tergambar dan terdeskripsi dalam tulisan itu dilandasi pada realitas kontemporer yang saat ini melanda dunia pendidikan kita yang bernama sekolah. Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang berfungsi menjalankan fungsi edukatif saat ini dipandang semakin tidak jujur. Salah satu indikator yang digunakan oleh D. Kemalawati adalah apa yang terjadi dalam hiruk pikuknya pelaksanaan ujian nasional di tanah air baru-baru ini. Ujian nasional yang telah dijadikan sebagai sebuah standard kelulusan siswa itu dalam banyak catatan masyarakat kita penuh dengan tanda tanya. Tanda tanya yang mengarah pada ketidakpercayaan pada hasil UAN tersebut, karena banyak terjadinya hal-hal yang kontradiktif, paradoksal, dan bahkan tidak masuk akal. Indikator lain yang membuat kegalauan itu adalah pada sebuah statement sang Menteri pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dalam rapat kerja dengan komisi X DPR RI 28 Juni 2006 yang menyatakan bahwa beliau malu karena hasil penyelidikan yang oleh Tim Investigasi menemukan banyaknya kecurangan dalam pelaksanaan UN.

Kecurangan adalah sebuah bentuk ketidak jujuran yang kerap kali terjadi dalam kehidupan kita, termasuk saat ini dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak kita dan bahkan kita sendiri belajar kejujuran. Sekolah yang selama ini menjadi harapan bagi kita untuk membangun sikap-sikap positif yang mulia, seperti beraklak baik dalam artian menjunjung nilai-nilai kejujuran, sopan, santun, dan sebagainya, ternyata kini tidak lagi menjadi semakin sirna. Dikatakan demikian, karena apa yang disebut dengan kejujuran itu, kini semakin sulit untukengada-ngada bila kita katakan bahwa lembaga pendidikan yang bernama sekolah sudah tidak jujur. Para guru atau para praktisi pendidikan pasti akan menggugat, bertanya apa landasan pemikiran yang mengatakan bahwa sekolah sekarang sudah tidak jujur. Bisa saja anda, sang pembaca akan berkata"ah itu tidak benar".

Nah, apapun jawabannya. Benar atau salahkah bila tuduhan itu muncul, yang paling penting kita harus menganalisis dahulu isi dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu, agar kita bisa menjawabnya, perlu upaya untuk melihat dari dekat terhadap kondisi sekarang di lembaga pendidikan kita. Mari kita amati satu persatu dan catat semua fenomena dan realitas yang sedang berkembang. Mungkin para guru, praktisi pendidikan dan para pembaca akan menemukan banyak catatan penting yang bisa mengarah pada pembenaran terhadap pernyataan bahwa saat ini kejujuran itu kian langka dan sulit ditemukan di sekolah. Salah satu indikator kita yang bisa kita jadikan sebagai alat ukur terhadap kejujuran di sekolah adalah dengan apa yang saat ini masih menjadi bahan perdebatan dengan hasil Ujian Nasional yang dianggap memiliki tingkat validity dan liability yang tinggi itu. Hingga kini, walau para pejabat pendidikan kita berbesar hati dan bahkan eforia terhadap hasil yang dicapai pada tahun 2006 yang lalu, tingkat validitas hasil masih saja diragukan oleh masyarakat kita.

Andai kita mau melihat dengan jujur. Kita akan bertanya, bagaimana kita bisa belajar kejujuran di sekolah, kalau saat ini sudah banyak guru yang dalam menjalankan tugas sudah tidak jujur. Misalnya, karena tuntutan dan dijejalkan dengan berbagai persyaratan dalam sistem kenaikan pangkat, demi mengejar angka kredit dalam mengusulkan pangkat, tidak sedikit guru yang berbuat curang. Berapa banyak guru yang saat ini dengan jujur bisa memberikan nilai terhadap yang sesuai dengan hasil yang diperoleh anak ? Ini adalah salah satu hal yang bisa kita jadikan sebagai sebuah alat ukur, karena masih banyak realitas lain yang bisa kita temukan. Lalu, kalau kita ingin mengukur tingkat kejujuran seorang Kepala Sekolah, mungkin semakin banyak fakta ketidak jujuran itu kita jumpai. Bertanyalah kita, jujurkah seorang kepala sekolah dalam memperoleh jabatan kepala sekolah ?. Kita harapkan kepala sekolah bisa menjawab dengan jujur, sekurang-kurangnya terhadap dirinya. Jabatan kepala sekolah sebagai jabatan yang boleh dikatakan jabatan yang tergolong "top karir" tersebut biasanya diperjuangkan dengan cara-cara yang sarat dengan ketidak jujuran. Bisa dengan memanfaatkan hubungan nepotisme, bisa dengan membayar sejumlah uang, bisa pula dengan berkolusi. Ini adalah fenomena umum dalam memperoleh sebuah jabatan di negeri ini. Lalu, kejujuran apa yang bisa kita pelajari dari seorang kepala sekolah yang memperoleh jabatan secara tidak jujur ? Transparansi ? Akuntabilitas ? Atau apa ?

Untuk belajar transparansi, agaknya kita semakin jauh. Realitas menunjukan bahwa kebanyakan kepala sekolah sangat tidak transparan kepada para guru dalam mengelola dana-dana yang masuk ke sekolah. Berapa banyak kepala sekolah yang mau secara transparan memberitahukan sumber-sumber pendapatan sekolah kepada para guru yang menjadi stake holders pendidikan ? Celakanya, banyak kepala sekolah yang berkata, Bapak dan Ibu guru, tidak perlu banyak tanya. Tugas ibu dan Bapak hanya mengajar. Jangan tanya-tanya soal uang di sekolah. Ini bukan urusan ibu dan bapak guru. Kalau ada guru yang mau bertanya soal dana block Grant, BOS bahkan sekolah yang menerima bantuan dari bencana tsunami dan sebagainya, sebaiknya jangan bertanya di dalam rapat. Datanglah ke ruangan kepala sekolah. Aneh bukan ? Padahal, yang namanya transparansi itu adalah bagaimana agar semua guru di sekolah diberikan hak untuk tahu akan penggunaan dana di sekolah. Ketidakjujuran seorang kepala sekolah, juga tergambar pada sikap dan perilakunya. Di satu sisi, penampilan tampak sangat agamis, perkataan sangat agamis, bahkan menggunakan ayat-ayat suci, tetapi kala berkaitan dengan uang, ya sikap itu berbeda antara kata dan perbuatan. Belum lagi kita bertanya soal akuntabilitas, semakin tidak bisa dipertanggungjawakan. Celaka bukan ?

Ketidakjujuran guru, kepala sekolah pada hakikatnya tidak semata-mata bersumber atau disebabkan oleh faktor yang ada dalam diri guru dan dalam diri kepala sekolah saja. Semua ini juga terkait dengan sistem pemerintahan kita yang kini semakin sulit kita temukan kejujuran itu. Jadi, kegundahan dan kegalauan D.Keumalawati dalam tulisannya tanggal 19 Juli 2006 itu bisa kita jawab demikian.

Namun pertanyaan kita selajutnya, kalau begini kondisi yang ada di dalam lembaga pendidikan kita dan kondisi sistem di pemerintahan kita, maka pertanyaan kita adalah bisakah kita belajar kejujuran di sekolah ? Kalau kita mau menganalisisnya, salah satu jawaban yang bisa kita prediksikan adalah semakin sulit kita bisa belajar kejujuran di sekolah saat ini. Di tengah kesulitan ini juga barangkali, kita memang tidak bisa berharap dan menuntut agar sekolah dan pemerintah bisa jujur. Haruskah demikian ? Subhannallah.
 
------------------------
*) Tabrani Yunis
Peminat masalah sosial dan Pendidikan, berdomisili di Banda Aceh*
 
Director
Center for Community Development and Education (CCDE)
Jl. Elang Timur No. 64
Blang Cut - Lueng Bata
PO. Box 141 Banda Aceh 23001

DALAM era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management (manajemen berbasis sekolah/MBS).

Dalam konteks MBS, sekolah harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaannya guna meningkatkan kualitas dan efisiensinya. Meskipun demikian, otonomi pendidikan dalam konteks MBS harus dilakukan dengan selalu mengacu pada akuntabilitas terhadap masyarakat, orangtua, siswa, maupun pemerintah pusat dan daerah.
  
Agar desentralisasi dan otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.
 
Dari segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
 
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional (Luthans, 1995: 358) adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan.
  
DALAM era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung.
 
Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan NEM (nilai ebtanas murni-Red) secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi.
  
Keadaan ini pernah dialami oleh penulis ketika harus melakukan diseminasi classroom action research di sekolah-sekolah. Kepala sekolah yang mengadopsi kepemimpinan instruksi-otoritarian tidak selalu bisa memberi peluang kepada penulis untuk mengajak para guru melakukan classroom action research di kelasnya, dengan alasan kegiatan penelitian kelas itu akan mengganggu pencapaian target kurikulum yang telah dicanangkan oleh pusat.
 
Di sisi guru, sebenarnya sangat mendambakan untuk selalu meningkatkan profesionalisme secara berkelanjutan melalui classroom action research. Sebab mereka sebenarnya mengerti, dengan melakukan penelitian itu para guru akan mampu melakukan refleksi terhadap praktik pembelajaran yang selama ini dilakukannya. Para guru telah dilatih berhari-hari mengenai cara-cara melakukan classroom action research. Tetapi, gara-gara ada kepala sekolah tidak reseptif terhadap inovasi, akhirnya guru harus puas dengan praktik yang bertahun-tahun dilakukan dan dianggap telah baik tanpa ada sistem feedback yang diperolehnya dari penelitian tindakan kelas.
 
Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar-mengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research. Sebab, dengan penelitian kelas itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu meningkatkannya secara berkelanjutan.
  
AGAR proses inovasi di sekolah dapat berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus bertindak sebagai pemimpin (leader) dan bukan bertindak sebagai bos. Ada perbedaan di antara keduanya.
 
Oleh karena itu, seyogianya kepemimpinan kepala sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri.
 
Kepala sekolah juga harus menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki kemampuan kerja profesional; serta menghindarkan diri agar tidak menyebabkan pekerjaan guru menjadi membosankan.
 
----------------------
Prof. Suyanto, PhD.  Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Ketua Tim Komite Reformasi Pendidikan
Sumber :
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0103/23/dikbud/foru09.htm
   
 
   
http://pakguruonline.pendidikan.net
Situs ini menampung sumbangan tulisan, berupa makalah, kajian, serta ciloteh para guru.
 Silahkan kirim tulisan  kepada web master 

Tujuh Ayat Sekolah Unggul   
Oleh A. CHAEDAR ALWASILAH *)


Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan. 
Sedikitnya ada lima tradisi yang membatu selama ini: (1) orang tua menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab mendidik siswa, (2) orang tua percaya bahwa program IPA lebih bergengsi daripada program IPS bagi anak mereka, (3) orang tua percaya bahwa sekolah kejuruan kurang bergengsi, (4) masyarakat percaya bahwa gelar ke(pasca)sarjanaan merupakan simbol status sosial, dan (5) pemerintah merasa paling jagoan menyelenggarakan pendidikan.
Wacana pendidikan kita kini diperkaya oleh seperangkat kosa kata yang maknanya berimpitan: sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah unggul, sekolah akselerasi, dan sejenisnya. Dalam literatur internasional semua itu lazim disebut lab school, effective school, demonstration school, experiment school, atau accelerated school, dan sekolah-sekolah pun diiklankan dengan atribut-atribut magnetis itu.
Senarai kosa kata itu tidak persis bersinonim. Ada nuansa kekhasan pada masing-masing. Dari semua itu, kosa kata yang paling lazim dipakai adalah effective school atau sekolah unggul yang didasarkan atas keyakinan bahwa siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Sekolah unggul demikian memiliki sejumlah korelat atau ciri pemerlain sebagai berikut.
Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu-- dan memang tidak diberdayakan untuk mampu--mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, "SMA berbasis komputer", "SD berbasis kelas kecil", "SMP berbasis IST (information system technology)," "SMK bersistem asrama," "Aliyah dengan pengantar tiga bahasa," dan sebagainya.
Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya "membangun siswa yang kreatif dan disiplin," dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.
Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.
Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah "pemimpin dari pemimpin" bukan "pemimpin dari pengikut." Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.
Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil menggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang efisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota masyarakat lain demi pembelajaran siswa.
Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.
Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan.
Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun "kepercayaan" dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.
Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.
Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua.
Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.
Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah.
Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah, akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air.  
---------------------------------------
*) Penulis, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Tujuh Ayat Sekolah Unggul   
Oleh A. CHAEDAR ALWASILAH *)


Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan. 
Sedikitnya ada lima tradisi yang membatu selama ini: (1) orang tua menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab mendidik siswa, (2) orang tua percaya bahwa program IPA lebih bergengsi daripada program IPS bagi anak mereka, (3) orang tua percaya bahwa sekolah kejuruan kurang bergengsi, (4) masyarakat percaya bahwa gelar ke(pasca)sarjanaan merupakan simbol status sosial, dan (5) pemerintah merasa paling jagoan menyelenggarakan pendidikan.
Wacana pendidikan kita kini diperkaya oleh seperangkat kosa kata yang maknanya berimpitan: sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah unggul, sekolah akselerasi, dan sejenisnya. Dalam literatur internasional semua itu lazim disebut lab school, effective school, demonstration school, experiment school, atau accelerated school, dan sekolah-sekolah pun diiklankan dengan atribut-atribut magnetis itu.
Senarai kosa kata itu tidak persis bersinonim. Ada nuansa kekhasan pada masing-masing. Dari semua itu, kosa kata yang paling lazim dipakai adalah effective school atau sekolah unggul yang didasarkan atas keyakinan bahwa siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Sekolah unggul demikian memiliki sejumlah korelat atau ciri pemerlain sebagai berikut.
Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu-- dan memang tidak diberdayakan untuk mampu--mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, "SMA berbasis komputer", "SD berbasis kelas kecil", "SMP berbasis IST (information system technology)," "SMK bersistem asrama," "Aliyah dengan pengantar tiga bahasa," dan sebagainya.
Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya "membangun siswa yang kreatif dan disiplin," dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.
Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.
Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah "pemimpin dari pemimpin" bukan "pemimpin dari pengikut." Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.
Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil menggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang efisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota masyarakat lain demi pembelajaran siswa.
Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.
Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan.
Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun "kepercayaan" dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.
Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.
Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua.
Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.
Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah.
Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah, akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air.  
---------------------------------------
*) Penulis, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Tujuh Ayat Sekolah Unggul   
Oleh A. CHAEDAR ALWASILAH *)


Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan. 
Sedikitnya ada lima tradisi yang membatu selama ini: (1) orang tua menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab mendidik siswa, (2) orang tua percaya bahwa program IPA lebih bergengsi daripada program IPS bagi anak mereka, (3) orang tua percaya bahwa sekolah kejuruan kurang bergengsi, (4) masyarakat percaya bahwa gelar ke(pasca)sarjanaan merupakan simbol status sosial, dan (5) pemerintah merasa paling jagoan menyelenggarakan pendidikan.
Wacana pendidikan kita kini diperkaya oleh seperangkat kosa kata yang maknanya berimpitan: sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah unggul, sekolah akselerasi, dan sejenisnya. Dalam literatur internasional semua itu lazim disebut lab school, effective school, demonstration school, experiment school, atau accelerated school, dan sekolah-sekolah pun diiklankan dengan atribut-atribut magnetis itu.
Senarai kosa kata itu tidak persis bersinonim. Ada nuansa kekhasan pada masing-masing. Dari semua itu, kosa kata yang paling lazim dipakai adalah effective school atau sekolah unggul yang didasarkan atas keyakinan bahwa siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Sekolah unggul demikian memiliki sejumlah korelat atau ciri pemerlain sebagai berikut.
Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu-- dan memang tidak diberdayakan untuk mampu--mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, "SMA berbasis komputer", "SD berbasis kelas kecil", "SMP berbasis IST (information system technology)," "SMK bersistem asrama," "Aliyah dengan pengantar tiga bahasa," dan sebagainya.
Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya "membangun siswa yang kreatif dan disiplin," dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.
Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.
Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah "pemimpin dari pemimpin" bukan "pemimpin dari pengikut." Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.
Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil menggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang efisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota masyarakat lain demi pembelajaran siswa.
Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.
Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan.
Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun "kepercayaan" dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.
Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.
Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua.
Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.
Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah.
Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah, akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air.  
---------------------------------------
*) Penulis, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.